Bambu Dan Baduy Keserasian Hidup Bersama Alam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam suku dan budaya bahkan memiliki berbagai macam tumbuhan atau tanaman obat,salah satunya adalah suku Baduy yang terletak di wilayah kabupaten Lebak provinsi Banten tepatnya di desa Kanekes. Mereka memiliki keunikan tersendiri yaitu mereka hidup secara tradisional kuno dan terkenal dengan tidak mau menerima atau menolak pengaruh budaya dari luar,walaupun mereka tinggal tidak jauh dari perkotaan.
Saat ini masyarakat Baduy terpisah menjadi dua kelompok  yaitu Baduy luar dan Baduy dalam,walaupun mereka berbeda gaya hidupnya antara Baduy dalam dan Baduy luar mereka tetap erat hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya.Baduy luar masih tetap kuat memegang adat istiadat Baduy dengan “tabiat utama kepada ketiga kepunana baduy dalam”. Namun ada hal yang menarik ketika keseluruhan masyarakat baduy dari kedua kelompok sama-sama memiliki memiliki ikatan yang  sangat kuat dengan tumbuhan bambu. Hal ini dengan mudah bisa kita lihat disaat kita mulai  memasuki wilayah habitat baduy luar,disepanjang jalan akan dijumpai sejumlah rumpun bambu yang sebagiannya terpelihara dengan  baik oleh masyarakat Baduy.Alasan mereka yang sangat kuat mengapa masyarakat Baduy memilih tumbuhan bambu sebagai “teman hidupnya” karena menurut mereka itu pohon bambu memiliki segala kelebihannya untuk menyediakan kebutuhan hidupnya mulai dari bahan makanan,bahan untuk membuat rumah,peralatan dapur seperti gelas,sumpit,centong dan yang gak kalah pentingnya mereka juga mengambil bagian dari pohon bambu untuk meracik obat tradisoinal contohnya “penyakit Hepatitis B bisa diobati dengan cara merendam bagian batang bambu kuning ke dalam satu gelas air lalu airnya diminumkan.
 

B. Tujuan penulisan laporan
   1.Untuk mengangkat keunikan gaya hidup masyarakat Baduy yang hidup secara tradisional dan memegang teguh terhadap konsep alam dan keberadaan sungai.
   2. Untuk mempublikasikan, bahwa di Indonesia yang sebagian besar daerahnya sudah rusak alamnya,ternyata masih ada daerah yang masih alami dan terjaga lingkungannya.
   3.Untuk memberitahukan kepada para generasi muda bahwa  setiap tumbuhan itu memiliki banyak manfaatnya.  

BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
  1. ISI PEMBAHASAN
Bambu Dan Baduy Keserasian Hidup Bersama Alam
Baduy, sebuah nama yang lazim diberikan kepada satu kelompok masyarakat adat di wilayah Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Sebenarnya, kelompok masyarakat ini lebih senang disebut Orang Kanekes, sesuai nama wilayah atau desa mereka. Mungkin sekali, nama Baduy dihubungkan dengan adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara wilayah perkampungan Desa Kanekes. Masyarakat suku Baduy terkenal dengan kemampuan luar biasa yang mereka miliki untuk menolak pengaruh budaya dari luar.
Saat ini, masyarakat Baduy terpisah menjadi dua kelompok besar yang disebut Baduy Luar dan Baduy Dalam. Berbeda dengan Baduy Luar yang terdiri dari belasan perkampungan kecil menyebar di sekeliling wilayah Desa Kanekes, Baduy Dalam hanya terdiri dari 3 kampung yang masing-masing mempunyai ke-puun-nan (kepala adat), yakni Cibeo, Cikeurtawarna, dan Cikeusik. Walaupun sudah sedikit terbuka dengan pengaruh budaya dari luar, namun masyarakat Baduy Luar masih sangat kuat memegang adat istiadat Baduy dengan ”kiblat” utama kepada ketiga kepuunan Baduy Dalam.
Perbedaan sikap, walau tidak exkstrim, antara Baduy Luar dan Baduy Dalam ketika merespon intervensi budaya dari luar komunitasnya, telah memberikan perbedaan warna antara kedua kelompok tersebut. Penggunaan paku untuk membuat rumah, misalnya, bagi Baduy luar adalah hal yang biasa, sementara bagi Baduy Dalam penggunaan paku tersebut merupakan hal tabu dan dilarang. Contoh lain adalah penggunaan angkutan transportasi kendaraan bermotor; bagi orang Baduy Luar diperbolehkan, sedangkan untuk orang Baduy Dalam tidak boleh sama sekali.
Namun demikian, adalah hal menarik ketika keseluruhan Baduy dari kedua kelompok sama-sama memiliki ikatan yang sangat kuat dengan tumbuhan bambu. Hal ini dengan mudah dapat dilihat disaat kita mulai memasuki wilayah habitat Baduy Luar. Sepanjang perjalanan akan dijumpai sejumlah rumpun bambu yang sebagian-nya terpelihara dengan baik oleh penduduk Baduy. Beruntung, letak wilayah Desa Kanekes yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL), yang mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan) dengan suhu rata-rata 20°C. Keadaan tersebut memungkinkan untuk tumbuh suburnya rumpun bambu.
Menilik sejarah panjang suku-suku pedalaman yang ada di Indonesia, hampir semua masyarakat tradisional itu memiliki keterkaitan langsung dengan tumbuhan bambu ini. Sehingga ada pameo mengatakan ”dimana ada bambu, di sana ada masyarakat tradisional”. Umumnya, habitat manusia yang pernah ada di dunia dari dahulu kala hingga sekarang dikaitkan dengan keberadaan sungai. Manusia akan membangun pemukimannya di dekat aliran sungai. Masyarakat Baduy mengambil kombinasi antara kedua hal tersebut: membuat perumahan mereka di dekat sungai dan rumpun bambu.
Ada alasan kuat mengapa masyarakat Baduy memilih tumbuhan bambu sebagai ”teman hidup”nya. Bambu dengan segala kelebihannya telah menyediakan dirinya menjadi bahan baku bagi hampir semua kebutuhan hidup manusia! Hampir tidak ada dari bagian tumbuhan ini, mulai dari akar hingga pucuk dan daun-nya yang tidak bisa dimanfaatkan. Akar bambu sering dipakai sebagai bahan ramuan obat, pucuk (rebung) bambu dibuat sayuran, dan batang bambu dewasa untuk bermacam keperluan bangunan. Bahkan tanah tempat bekas rumpun bambu adalah bagian tanah yang amat subur untuk berladang.
Bambu telah menyediakan hampir semua kebutuhan peralatan hidup bagi manusia Baduy. Gelas Bambu adalah yang paling sederhana. Orang Baduy, terutama kelompok Baduy Dalam mengkreasi gelas minum dari bambu dengan berbagai ukuran. Struktur tumbuhan yang berlubang di tengah dengan buku-buku kokoh yang menjadi pembatas antar ruas-ruasnya telah dimanfaatkan secara cerdas untuk menciptakan gelas-gelas tempat minum manusia. Selain gelas, bambu juga dapat dibuat berbagai peralatan dapur dan rumah tangga, seperti sendok, garpu, sumpit, dan untuk menanak nasi. Bambu kering kerap juga digunakan sebagai kayu bakar untuk perapian memasak makanan.
Bambu ternyata juga menjamah wilayah naluri seni manusia di banyak tempat di Indonesia, termasuk Baduy. Alat musik tiup seperti seruling bambu, angklung, dan kentongan adalah beberapa contoh penggunaan ruas-ruas bambu dengan berbagai ukuran bagi kepentingan pemenuhan hasrat bermusik atau berkesenian orang Baduy. Pembuatan wayang dari anyaman bambu juga sering dijumpai di komunitas Baduy, dan banyak lagi. Perlengkapan kerja seperti caping (tudung) yang biasa digunakan bekerja di ladang di tengah terik matahari terbuat dari bambu. Terdapat juga tikar bambu, atau sekedar anyaman bambu yang agak kasar, yang biasanya digunakan untuk menjemur ketela, kopi, kelapa, bahkan padi. Bakul berukuran kecil, sedang dan besar dibuat dari bambu. Bambu Timba adalah alat mengambil dan membawa air dari sungai atau pancuran hampir dimiliki di setiap rumah orang Baduy.
Bambu adalah bahan bangunan utama bagi suku Baduy. Bambu dapat dibuat lumbung padi, tempat jemuran padi yang baru dipanen, rumah, saluran air, dan jembatan penyebrangan di atas sungai atau jurang. Format bambu yang lurus dan panjang tanpa cabang, berlubang tengah, beruas dan berbuku kokoh, tersedia dalam berbagai ukuran, dan berbagai kelebihan tumbuhan ini, telah menjadikannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat tradisional seperti orang Baduy. Dengan keahlian dan dan kemampuan tehnik yang amat sederhana, Baduy remaja dan dewasa dapat membuat berbagai macam bangunan bagi keluarganya dari bahan baku bambu. Dalam membuat rumah misalnya, bambu dapat diolah sedemikian rupa untuk menjadi apa saja. Bambu bisa jadi tiang penyanggah rumah yang umumnya berbentuk panggung, ia juga bisa jadi dinding, lantai, kasau, bahkan jadi atap rumah.
Bangunan jembatan bambu di atas kali besar adalah satu fenomena ”teknologi tradisional” yang spektakuler sekaligus unik dan indah. Jembatan bambu di atas sungai Cihujung di Kampung Gajebo, salah satu perkampungan Baduy Luar, terlihat artistik melintang kokoh menghubungkan kedua sisi jurang sungai di ketinggian sekitar 40-an meter dari permukaan sungai. Kemampuan teknologi yang cukup baik untuk menciptakan bangunan jembatan di tengah hutan dengan formasi jembatan ala Jembatan Merah di Palembang atau meniru gaya London Bridge di Inggris. Semua bahan utama bangunan jembatan ini dari bambu. Tiang-tiang penyanggah dibuat dari bambu besar yang panjang dan kokoh, juga tiang-tiang gantungan jembatan menggunakan bambu. Lantai jembatannya juga dari bambu yang bulat dan utuh yang disusun sedemikian rupa seperti rakit, sambung-menyambung dari sisi yang satu ke sisi sungai yang lainnya. Sebagai pengikat jembatan, Orang Baduy menggunakan pilinan ijuk yang didapatkan dari pohon enau yang juga banyak tersebar di wilayah hutan di Baduy. Ada beberapa buah jembatan bambu seperti ini di sana, di samping terdapat juga jembatan akar yang dibuat dari rangkaian akar-akar pohon besar dari kedua sisi sungai.
Saat ini, di masyarakat modern di kota-kota besar, bahkan di negara maju, keberadaan perabotan dan perlengkapan furniture dari bambu sudah menjadi pemandangan jamak. Meja-kursi bambu adalah hal biasa, bukan saja di rumah-rumah, bahkan sering terlihat di perkantoran dan restoran mewah. Aksesoris bangunan yang terbuat dari bambu seperti bel, lampu dinding, gantungan kunci, dan lain-lain adalah juga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat moderen. Bahkan, bila bambu asli tidak ditemukan, orang justru membuat hasil karya bambu mereka melalui imitasi bambu dari bahan baku plastik dan lainnya. Bambu telah menjadi inspirasi manusia di mana saja sepanjang masa.
Jadi, amat logis jika akhirnya tercipta suatu ikatan bathin yang kuat antara masyarakat Baduy dengan pokok bambu, yang pada akhirnya membuat masyarakat tradisional ini menjaga dengan seksamarumpun-rumpun bambu di sekitar mereka dengan baik. Sepanjang bambu masih tumbuh subur, rimbun dan kokoh di daerahnya, orang Baduy akan tetap eksis dengan segala pernik kebudayaan dan adat istiadatnya yang ”tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan”.

  1. ANALISA
Orang Kanekes (Baduy)
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).

Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Wilayah Kanekes
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.

Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Asal-usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Namun pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dan analisis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya.


Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih (sejenis pasukan elit dengan kedigjayan tinggi) untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.

Keberadaan pasukan elit Kerajaan Pakuan Padjadjaran dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya dan diduga kuat menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes (Baduy) yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Kerajaan Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa

Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Benar-benar menyatu dengan alam dengan penuh kearifan sundajati yang bijaksana.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya sangat dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya pu’un yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut.

Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda banyak musibah dan kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
            Negara kita merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, salah satunya adalah suku Baduy meraka hidup secara tradisional dan berpegang teguh terhadap peraturan adat mereka yaitu hidup berteman dengan alam dan dikaitkan dengan keberadaan sungai. Karena menurut mereka hidup dengan menghormati dan menjaga alam itu sangat nyaman karena segala bahan kebutuhan hidup sehari-hari bisa didapatkan di alam seperti tanaman bambu mulai dari akar sampai pucuk daunnya semua bisa digunakan dan bermanfaat bagi kehidupan kita, contohnya kayunya bisa dibuat kursi, jembatan sungai, peralatan dapur, alat musik kesenian tradisional ( Angklung ), dan untuk meracik ramuan obat tradisional seperti buat obat penyakit Hepatitis B.


B. SARAN
            Kita sebagai generasi penerus harus bisa menjaga alam di sekitar kita, karena dengan alam lah kita bisa hidup dengan nyaman dan juga di alam terdapat berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan pepohonan yang banyak sekali manfaatnya,salah satunya adalah pohon bambu. Di masyarakat Baduy bisa digunakan sebagai bahan untuk membuat jembatan sungai, dan juga bisa dibuat ramun racikan obat tradisional.
    
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kuliah gengsu.blogspot.com/2009/10/bambu-dan-baduy-keserasian-hidup-bersama-alam.html.
http://skripsi.unila.ac.id/2009/08/12/potensi-pengembangan-ekowisata-di-daerah-baduy-desa-kanekes-kecamatan-leuwidamar-kabupaten-lebak-banten/


0 Responses